Sabtu, 21 Juni 2014

Menulis dengan Emosi


Blog ini hampir tidak bisa berbicara lagi, semuanya tampak sunyi disini. Berbulan-bulan saya tinggalkan, dan untuk kesekian kalinya niat untuk menulis tenggelam tanpa bekas. Baru beberapa hari yang lalu seseorang berkata "tulisan akan terlihat lebih hidup kalau menulis dengan emosi". Sempat setuju dengan pemikiran itu, karena melihat dari beberapa tulisan galau yang sempat saya posting, memang benar. Tulisan itu seperti hidup. Bukan hidup bagai menari-nari seperti yang dilihat penderita dyslexia. Tapi seakan-akan tulisan itu mampu mengilustrasikan setiap detik emosi di dalam diri saya. Setiap kalimat jadi memiliki makna yang sangat mendalam. Setiap kata seperti mengalir dengan mudah, tanpa harus kita rangkai sedemikian rupa.
Lalu bagaimana dengan seorang jurnalis? Apa seorang jurnalis harus selalu emosi dalam setiap tulisan yang dibuatnya? I think, no! Mungkin seorang jurnalis memang memiliki kepandaian dalam hal tersebut. Bisa saja seorang penulis mengikuti journalist school and communication, atau pelatihan menulis lainnya.
Dalam sisi ini terkadang saya kurang setuju kalau menulis harus menggunakan emosi. Lihat saja anak SD yang selalu mendapat tugas mengarang setiap selesai liburan sekolah. Bagaimana dengan siswa SD yang tidak menikmati liburan sama sekali? Tulisan mereka bisa tetap selesai meski hanya satu paragraf berisi kata kebosanan. Yup, saya pikir bakat menulis itu memang sudah dibawa sejak lahir dan dilatih ketika seseorang mengalami pertumbuhan dalam hidupnya. Atau mungkin seorang penulis selalu belajar dari pengalaman hidupnya.
Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar