Blog
ini hampir tidak bisa berbicara lagi, semuanya tampak sunyi disini.
Berbulan-bulan saya tinggalkan, dan untuk kesekian kalinya niat untuk
menulis tenggelam tanpa bekas. Baru beberapa hari yang lalu seseorang
berkata "tulisan akan terlihat lebih hidup kalau menulis dengan emosi".
Sempat setuju dengan pemikiran itu, karena melihat dari beberapa
tulisan galau yang sempat saya posting, memang benar. Tulisan itu
seperti hidup. Bukan hidup bagai menari-nari seperti yang dilihat
penderita dyslexia. Tapi seakan-akan tulisan itu mampu mengilustrasikan
setiap detik emosi di dalam diri saya. Setiap kalimat jadi memiliki
makna yang sangat mendalam. Setiap kata seperti mengalir dengan mudah,
tanpa harus kita rangkai sedemikian rupa.
Lalu
bagaimana dengan seorang jurnalis? Apa seorang jurnalis harus selalu
emosi dalam setiap tulisan yang dibuatnya? I think, no! Mungkin seorang
jurnalis memang memiliki kepandaian dalam hal tersebut. Bisa saja
seorang penulis mengikuti journalist school and communication, atau
pelatihan menulis lainnya.
Dalam
sisi ini terkadang saya kurang setuju kalau menulis harus menggunakan
emosi. Lihat saja anak SD yang selalu mendapat tugas mengarang setiap
selesai liburan sekolah. Bagaimana dengan siswa SD yang tidak menikmati
liburan sama sekali? Tulisan mereka bisa tetap selesai meski hanya satu
paragraf berisi kata kebosanan. Yup, saya pikir bakat menulis itu memang
sudah dibawa sejak lahir dan dilatih ketika seseorang mengalami
pertumbuhan dalam hidupnya. Atau mungkin seorang penulis selalu belajar
dari pengalaman hidupnya.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar