Juni,
di sekitar pulau aku dilahirkan.
Bersyukur
aku bertemu niat baikmu, mengunjungi keluargaku. Dan sebuah izin yang sangat
kami harapkan. Aku sesaat lenyap oleh petuah-petuah orang tuaku. Untuk kali
pertama kami berbicara tanpa mode “gesrek”. Bukan main-main, ini serius! Bahkan
leluconku tak lagi sanggup memecah, hambar, ini serius!
Kedatanganmu – Pertama
Di
sudut jalan kamu menunggu, aku melihatmu, aku senang, lalu kami bertemu. Dengan
jaket biru, favoritku, dan satu genggaman oleh-oleh dari kotamu. Ini keren.
Kamu sampai dengan selamat dan sudah lulus uji coba makanan khas Bali yang
pertama, ayam betutu. Alhamdulillah..
Destinasi
pertama, makanan favoritku. Rujak kuah pindang, sudah ada di list makanan yang
ingin kamu coba. Ayo aku antar. Segar, seperti bertemu kamu setelah dipisah
pulau.
Kedua,
kami melaut. Salah satu laut favoritku, laut pertama yang ku tulis di blog ini.
Tebing, biru langit, ombak dan kamu, semuanya merdu. Sederhana. Aku suka.
Izinmu
– Kedua
Kami
melaju lagi, mendekati laut tapi tidak melaut. Tokonya baru saja buka. Dengan dua
cup sorbet dan gelato, ini terlalu
manis untuk sebuah momen, berkencan. Setelahnya, kami menepi di masjid yang
begitu asri, mendengar ceramah Jumat. Singkat, namun sedikit lebih panjang
paparan uang kas masjid yang kami singgahi.
Masih
manis, sampai salah satu manajer ayam franchise
mengubah kelaparan kami jadi asap. Terbakar amarah, pedas, level 4. Sudahlah, kenyang,
kami pulang.
Aku
mengatur strategi, bagaimana aku tidak terlibat di obrolan serius itu. Biarkan
mereka saja, bertiga. Berjam-jam, seakan menggambar pohon faktor untuk
menemukan faktor terbesar “mengapa lama sekali?”. Lalu aku dipanggil, ditaburi
pribahasa-pribahasa yang “apa ini?”. Pada akhirnya aku mengerti, mereka
memberikan petuah dan izin untuk kami. Ini momen bla bla, aku tidak tau
namanya. Tapi mendebarkan. Alhamdulillah kami bisa melewatinya dan mendapatkan
izin.
Juli,
di antara dua pulau.
Sebuah
misi, sebuah izin sudah kami dapatkan, lalu dijaga. Dikenali, dijalani, dihargai.
Dijaga sampai nanti.
Pulang
– Ketiga
Rasanya
baru lima detik yang lalu aku sarapan denganmu. Lalu sudah menyapa kondektur
bus di terminal. Kamu harus pulang? Boleh aku simpan satu saja dirimu? Paling
tidak di sebuah foto kenangan. Baiklah, jangan menangis, tapi boleh sedikit
sedih. Dipisah pulau, sampai kami bertemu lagi.
Untuk segala bentuk perjuanganmu, ketulusanmu, apa pun namanya, terimakasih. Bersyukur aku bertemu niat baikmu, mengunjungi keluargaku. Dan sebuah izin yang sangat kami harapkan.
Selamat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar