Rabu, 30 Agustus 2017

Izinkan aku, Bali!



Juni, di sekitar pulau aku dilahirkan.
Bersyukur aku bertemu niat baikmu, mengunjungi keluargaku. Dan sebuah izin yang sangat kami harapkan. Aku sesaat lenyap oleh petuah-petuah orang tuaku. Untuk kali pertama kami berbicara tanpa mode “gesrek”. Bukan main-main, ini serius! Bahkan leluconku tak lagi sanggup memecah, hambar, ini serius!

Kedatanganmu – Pertama
Di sudut jalan kamu menunggu, aku melihatmu, aku senang, lalu kami bertemu. Dengan jaket biru, favoritku, dan satu genggaman oleh-oleh dari kotamu. Ini keren. Kamu sampai dengan selamat dan sudah lulus uji coba makanan khas Bali yang pertama, ayam betutu. Alhamdulillah..
Destinasi pertama, makanan favoritku. Rujak kuah pindang, sudah ada di list makanan yang ingin kamu coba. Ayo aku antar. Segar, seperti bertemu kamu setelah dipisah pulau.
Kedua, kami melaut. Salah satu laut favoritku, laut pertama yang ku tulis di blog ini. Tebing, biru langit, ombak dan kamu, semuanya merdu. Sederhana. Aku suka.

Izinmu – Kedua
Kami melaju lagi, mendekati laut tapi tidak melaut. Tokonya baru saja buka. Dengan dua cup sorbet dan gelato, ini terlalu manis untuk sebuah momen, berkencan. Setelahnya, kami menepi di masjid yang begitu asri, mendengar ceramah Jumat. Singkat, namun sedikit lebih panjang paparan uang kas masjid yang kami singgahi.
Masih manis, sampai salah satu manajer ayam franchise mengubah kelaparan kami jadi asap. Terbakar amarah, pedas, level 4. Sudahlah, kenyang, kami pulang.
Aku mengatur strategi, bagaimana aku tidak terlibat di obrolan serius itu. Biarkan mereka saja, bertiga. Berjam-jam, seakan menggambar pohon faktor untuk menemukan faktor terbesar “mengapa lama sekali?”. Lalu aku dipanggil, ditaburi pribahasa-pribahasa yang “apa ini?”. Pada akhirnya aku mengerti, mereka memberikan petuah dan izin untuk kami. Ini momen bla bla, aku tidak tau namanya. Tapi mendebarkan. Alhamdulillah kami bisa melewatinya dan mendapatkan izin.

Juli, di antara dua pulau.
Sebuah misi, sebuah izin sudah kami dapatkan, lalu dijaga. Dikenali, dijalani, dihargai. Dijaga sampai nanti.

Pulang – Ketiga
Rasanya baru lima detik yang lalu aku sarapan denganmu. Lalu sudah menyapa kondektur bus di terminal. Kamu harus pulang? Boleh aku simpan satu saja dirimu? Paling tidak di sebuah foto kenangan. Baiklah, jangan menangis, tapi boleh sedikit sedih. Dipisah pulau, sampai kami bertemu lagi.

Untuk segala bentuk perjuanganmu, ketulusanmu, apa pun namanya, terimakasih. Bersyukur aku bertemu niat baikmu, mengunjungi keluargaku. Dan sebuah izin yang sangat kami harapkan.
Selamat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar