Senin, 29 Desember 2014

Galungan

Hari kedua di Bali..
Rabu, 17 Desember 2014, yang bertepatan dengan hari raya Galungan yang diperingati oleh umat Hindu di Bali. Semangat liburanku masih membara, karena pada hari itu aku akan berkunjung ke rumah nenek di Karangasem. Seperti yang pernah aku ceritakan, aku merupakan blasteran Jawa dan Bali. Dulu sebelum ibuku menikah, beliau beragama Hindu. Kemudian saat mengikat janji suci dengan ayahku ibuku memutuskan untuk menjadi seorang mualaf. Alhamdulillah. Aku selalu bersyukur lahir dari keluargaku saat ini. Karena meskipun keluarga besarku memiliki perbedaan keyakinan, sampai saat ini kerukunan di antara kami masih tetap terjaga. Kami belajar menghargai perbedaan dan saling mengerti satu sama lain. Meskipun ibuku sudah tidak beragama Hindu lagi, tapi setiap ada acara keluarga dan hari raya seperti Galungan, kami akan berlibur ke rumah nenek. Dan nenek selalu meminta kami untuk datang ke rumah jika sedang libur sekolah.
Nenek adalah orang yang sangat aku segani. Mengapa tidak?! Menurutku nenek seorang yang bijaksana, beliau tak pernah membandingkan anak-anak dan cucu-cucunya. Hindu atau Islam, berpunya atau sederhana, besar atau kecil, ku pikir dalam benak, beliau hanya ingin kami menyatu, menjadi keluarga besar yang harmonis tanpa memandang perbedaan di antara kami. Sungguh nenek yang bijaksana. Terkadang, ketika berpamitan pulang aku selalu rindu nenek, rasanya tak ingin melepas pelukan hangat nenek sampai air mata kami berdua menitik membasahi sudut mata kami.
Rabu pagi, aku dan keluarga kecilku sudah mengemas beberapa baju untuk dibawa ke rumah nenek. Selain baju, aku juga mengambil beberapa camilan di warung ibu untuk diperjalanan nanti. Setelah mandi dan merasa sangat siap, kami berangkat ke rumah nenek sekitar pukul 10.00 WIB. Untuk sampai di rumah nenek di wilayah Karangasem Tianyar, biasanya kami menempuh waktu selama kurang lebih 3 jam perjalanan. Melewati jalan By Pass Ida Bagus Mantra dan jalan utama menuju kota Karangasem.
Tiga puluh menit di mobil, aku sudah merasa bosan dengan kemacetan di jalan By Pass Ida Bagus Mantra yang disebabkan karena adanya kecelakaan lalu lintas. Dari dalam mobil aku hanya menatap pemandangan panjang yang kami lewati. Perkebunan cabai, hamparan sawah, dan barisan bukit yan mulai menghijau membuat sejuk sesaat. Sampai akhirnya polusi dan teriknya matahari membuat keringat kami tak terbendung. Terakhir aku pulang ke Bali, belum sepanas dan gerah seperti ini, gumamku. Andaikan semua jalan di Bali teduh seperti ini, pasti akan ada lebih banyak orang yang berjalan kaki, tulisku dalam akun Instagram sembari mengisi kejenuhan di dalam mobil.

Lepas dari jalan By Pass, perjalanan mulai mulus dan lancar. Sampai pada akhirnya kabut turun dan tak lama kemudian hujan lebat ikut membasahi hijaunya perbukitan di kawasan desa Ababi, Tirta Gangga. Karena jenuh yang tak tertandingi, satu persatu camilan ku keluarkan dari kantong plastik putih. Mengendap-endap, memakan sebungkus kacang dan sebotol susu coklat. Adikku yang tadinya tertidur, mendadak bangun mendengar suara berisik kulit kacang yang ku gigit dan segera mengambil sisa kacang ditanganku. Aku pikir kami berdua bak monyet di musim kemarau panjang, KELAPARAN! :D
Empat jam perjalanan kami tempuh, hingga akhirnya sampai di rumah nenek. Beberapa sanak saudara sudah duduk menunggu kedatangan kami. Dan tibalah waktunya untuk melepas rindu bersama keluarga besarku. Tak lupa melantunkan ucapan “Selamat Hari Raya Galungan” untuk sanak saudara dan kakek nenekku.

1 komentar:

  1. Kebersamaan memang indah apalagi jika sudah ketemu keluarga besar, moment indah banget tuh...
    Dengan perbedaan agama seperti itu, rasa kekeluargaan masih begitu erat,
    sungguh sangat luar biasa,, harus beginilah contoh teladan untuk ditiru
    salut deh buat keluarga hebat,,,
    salam hangat,,,,

    BalasHapus