Hari kedua di Bali..
Rabu, 17 Desember 2014,
yang bertepatan dengan hari raya Galungan yang diperingati oleh umat Hindu di
Bali. Semangat liburanku masih membara, karena pada hari itu aku akan
berkunjung ke rumah nenek di Karangasem. Seperti yang pernah aku ceritakan, aku
merupakan blasteran Jawa dan Bali. Dulu sebelum ibuku menikah, beliau beragama
Hindu. Kemudian saat mengikat janji suci dengan ayahku ibuku memutuskan untuk
menjadi seorang mualaf. Alhamdulillah. Aku selalu bersyukur lahir dari
keluargaku saat ini. Karena meskipun keluarga besarku memiliki perbedaan
keyakinan, sampai saat ini kerukunan di antara kami masih tetap terjaga. Kami
belajar menghargai perbedaan dan saling mengerti satu sama lain. Meskipun ibuku
sudah tidak beragama Hindu lagi, tapi setiap ada acara keluarga dan hari raya
seperti Galungan, kami akan berlibur ke rumah nenek. Dan nenek selalu meminta
kami untuk datang ke rumah jika sedang libur sekolah.
Nenek adalah orang yang
sangat aku segani. Mengapa tidak?! Menurutku nenek seorang yang bijaksana,
beliau tak pernah membandingkan anak-anak dan cucu-cucunya. Hindu atau Islam, berpunya
atau sederhana, besar atau kecil, ku pikir dalam benak, beliau hanya ingin kami
menyatu, menjadi keluarga besar yang harmonis tanpa memandang perbedaan di
antara kami. Sungguh nenek yang bijaksana. Terkadang, ketika berpamitan pulang
aku selalu rindu nenek, rasanya tak ingin melepas pelukan hangat nenek sampai
air mata kami berdua menitik membasahi sudut mata kami.
Rabu pagi, aku dan
keluarga kecilku sudah mengemas beberapa baju untuk dibawa ke rumah nenek.
Selain baju, aku juga mengambil beberapa camilan di warung ibu untuk
diperjalanan nanti. Setelah mandi dan merasa sangat siap, kami berangkat ke rumah
nenek sekitar pukul 10.00 WIB. Untuk sampai di rumah nenek di wilayah
Karangasem Tianyar, biasanya kami menempuh waktu selama kurang lebih 3 jam
perjalanan. Melewati jalan By Pass Ida Bagus Mantra dan jalan utama menuju kota
Karangasem.
Tiga puluh menit di
mobil, aku sudah merasa bosan dengan kemacetan di jalan By Pass Ida Bagus Mantra
yang disebabkan karena adanya kecelakaan lalu lintas. Dari dalam mobil aku
hanya menatap pemandangan panjang yang kami lewati. Perkebunan cabai, hamparan
sawah, dan barisan bukit yan mulai menghijau membuat sejuk sesaat. Sampai
akhirnya polusi dan teriknya matahari membuat keringat kami tak terbendung.
Terakhir aku pulang ke Bali, belum sepanas dan gerah seperti ini, gumamku. Andaikan
semua jalan di Bali teduh seperti ini, pasti akan ada lebih banyak orang yang
berjalan kaki, tulisku dalam akun Instagram sembari mengisi kejenuhan di dalam
mobil.
Lepas dari jalan By
Pass, perjalanan mulai mulus dan lancar. Sampai pada akhirnya kabut turun dan
tak lama kemudian hujan lebat ikut membasahi hijaunya perbukitan di kawasan
desa Ababi, Tirta Gangga. Karena jenuh yang tak tertandingi, satu persatu
camilan ku keluarkan dari kantong plastik putih. Mengendap-endap, memakan
sebungkus kacang dan sebotol susu coklat. Adikku yang tadinya tertidur,
mendadak bangun mendengar suara berisik kulit kacang yang ku gigit dan segera
mengambil sisa kacang ditanganku. Aku pikir kami berdua bak monyet di musim
kemarau panjang, KELAPARAN! :D
Empat jam perjalanan kami
tempuh, hingga akhirnya sampai di rumah nenek. Beberapa sanak saudara sudah
duduk menunggu kedatangan kami. Dan tibalah waktunya untuk melepas rindu
bersama keluarga besarku. Tak lupa melantunkan ucapan “Selamat Hari Raya
Galungan” untuk sanak saudara dan kakek nenekku.
Kebersamaan memang indah apalagi jika sudah ketemu keluarga besar, moment indah banget tuh...
BalasHapusDengan perbedaan agama seperti itu, rasa kekeluargaan masih begitu erat,
sungguh sangat luar biasa,, harus beginilah contoh teladan untuk ditiru
salut deh buat keluarga hebat,,,
salam hangat,,,,